Satu per satu kepingan misteri penyebab kecelakaan pesawat Sukhori Superjet 100 mulai terkuak. Faktor pilot diduga menyumbang peran dalam kecelakaan tersebut.
Laporan utama majalah Tempo, "Musabab Jatuhnya Sukhoi" edisi Senin, 18 Juni 2012, memuat wawancara Tempo dengan seorang investigator Rusia. Dari wawancara itu terungkap pilot sempat berteriak sesaat sebelum pesawat menabrak.
Seorang investigator Rusia yang mengetahui analisis sementara kotak hitam mengatakan Yablontsev berniat melakukan manuver setelah permintaan turunnya disetujui menara Cengkareng. "Dia mau terbang di celah dua puncak gunung," katanya. Salak punya tiga pucuk dengan lembah-lembahnya yang curam.
Aleksandr Yablontsev pilot senior. Di usianya yang 57 tahun, ia sudah menerbangkan 221 jenis pesawat dengan 14 ribu jam terbang. Bekas pilot tempur ini juga terlibat membangun Sukhoi sejak 2004. Dengan pengalaman dan keahlian itu, kata investigator ini, Yablontsev diduga berniat menunjukkan kecanggihan Sukhoi kepada tamu-tamunya.
Tak paham kontur jalur ke Pelabuhan Ratu itu, sang pilot terkejut ketika membelokkan pesawat ke kanan justru mengarah ke tebing Salak. Dari rekaman kotak hitam, menurut seorang penyelidik dari Rusia, sesaat setelah permintaan memutar disetujui, pilot menjerit, “O Bozhe, chto eto takoe? (Ya, Tuhan, apa ini?)” Luka tebing akibat benturan menunjukkan Yablontsev berniat menaikkan pesawat tapi tak cukup jarak dan waktu buat menghindar.
Menurut Presiden IATCA I Gusti Ketut Susila, jarak koordinat pesawat saat kontak terakhir dengan Gunung Salak hanya 14 kilometer. Dengan kecepatan 290 knot atau 450 kilometer per jam, pilot hanya punya waktu sembilan detik menghindari tebing.
Menurut Menteri Perhubungan E.E Mangindaan, Yablontsev dan kopilot Aleksandr Kochetkov mengabaikan peringatan sistem yang berbunyi sebelas kali--tanda pesawat menuju bahaya. Tapi seorang petugas di Cengkareng menyimpulkan, pemandu memiliki andil dalam kecelakaan. "Semestinya pemandu tak menyetujui permintaan pilot berbelok ke kanan karena di monitor radar sebenarnya tercantum gunung," ujarnya.
Jika saja petugas menara menyatakan "negatif" dan memerintahkan pesawat berbelok ke kiri, pilot punya waktu dua menit untuk menghindari puncak gunung. Kesibukan N yang memandu belasan pesawat lain dalam waktu bersamaan membuatnya tak waspada. Dalam transkrip percakapan itu, ia tak terdengar mengarahkan Sukhoi atau menolak permintaan pilot. (Baca juga: Pemandu ATC di Insiden Sukhoi Belum Bekerja Lagi)
Mulya Abdi, General Manager Senior Air Traffic Services Soekarno-Hatta, beralasan bahwa turun ke 6.000 kaki dan berbelok ke kanan disetujui pemandu karena Sukhoi berada di training area Atang Sendjaja. "Ini daerah bersih. Pesawat minta turun ke 3.000 pun pasti disetujui," katanya.
Training area Atang Sendjaja adalah sebuah wilayah imajiner di Bogor yang melintang sepanjang 50 kilometer dari Tangerang hingga Cikeas, dengan lebar sekitar 20 kilometer. Letaknya 20 nautical mile atau 37 kilometer dari Pangkalan Halim. Area ini sering dijadikan tempat latihan siswa penerbang Curug, Tangerang, karena sepi dari lalu lintas pesawat.
Terbang di area latihan ada syaratnya. Menurut Heruyanto Sutiyoso, dosen senior di sejumlah sekolah penerbangan, kecepatan maksimal di wilayah ini 250 knot. "Dan pilot harus terbang secara visual, bukan instrumen," ujarnya.
Ketika menabrak tebing Salak, Sukhoi melaju 40 knot di atas batas maksimal yang diizinkan di area latihan. "Semestinya pemandu memberitahukan syarat-syarat terbang di training area," kata seorang petugas menara Cengkareng.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar