Eli Ben-Naim, Sidney Redner, dan Federico Vazquez adalah orang Amerika. Mereka tak terlalu suka sepak bola. Itu sebabnya mereka terheran-heran, mengapa olahraga itu sangat disukai orang sedunia. Ketiganya, peneliti dari Los Alamos National Laboratory di New Mexico, Amerika Serikat, lantas membandingkan olahraga khas Amerika dengan sepak bola.
Menurut mereka, bisbol, misalnya, menarik lantaran memiliki home run. American football memiliki touchdown. Aksi spektakuler slam dunk membuat pertandingan basket menjadi hidup.
Tapi justru sepak bola-lah yang paling menarik minat banyak orang di muka planet ini. Lantas ketiganya melakukan penelitian untuk mengetahui penyebabnya. Mereka memilih hasil-hasil pertandingan yang penuh kejutan sebagai parameter utama untuk mengetahui menarik atau tidaknya sebuah liga permainan.
Contoh, seberapa sering kejadian tim yang sebenarnya anak bawang mampu membalikkan keadaan dengan mengalahkan, atau setidaknya menahan imbang, tim-tim yang lebih baik sumber pendanaannya--dan karena itu bertabur pemain bintang. Semakin banyak kejutan yang terjadi, semakin menarik. “Jika tidak ada kesedihan atau kekecewaan, setiap pertandingan akan mudah ditebak. Ini justru akan membosankan," ujar Ben-Naim.
Ben-Naim dan dua koleganya itu menganalisis lebih dari 300 ribu hasil pertandingan selama seabad ke belakang di liga-liga hoki Amerika Serikat, sepak bola, bisbol, dan basket NBA, serta Liga Primer di Inggris.
Di ujung risetnya, tim peneliti itu menemukan bahwa "frekuensi kesedihan dan kekecewaan" tertinggi terjadi di sepak bola. Urutan kedua dan seterusnya ditempati bisbol, hoki, bola basket, dan terakhir American football.
Masalahnya adalah ketika Ben-Naim cs membatasi data-datanya hanya dalam sepuluh tahun terakhir. Mereka menemukan pertukaran posisi antara sepak bola liga Inggris dan bisbol. Apakah itu artinya pertandingan-pertandingan sepak bola belakangan ini jadi lebih mudah diprediksi (mengingatkan kita pada skandal di Italia)?
Entahlah, tapi yang jelas, riset di Inggris Raya membuktikan bahwa sensasi mengikuti--tidak sekadar menonton--pertandingan sepak bola yang penuh warna, meski tidak jarang mengundang air mata, memang menyehatkan.
Para peneliti di Skotlandia meluangkan waktu mereka untuk membuka data-data tentang tingkat panggilan darurat dokter menjelang, sepanjang, dan sesudah tiga turnamen akbar sepak bola. Mereka menemukan jumlah pasien pada minggu-minggu menjelang pesta akbar sepak bola, seperti Piala Eropa atau Piala Dunia, jauh lebih banyak daripada ketika turnamen itu sudah memasuki babak final hingga delapan pekan setelahnya.
Rata-rata ada pengurangan panggilan darurat untuk layanan dokter sebesar 14 persen pada pekan-pekan seusai turnamen dibanding pekan-pekan sebelum turnamen digelar.
Para peneliti menduga faktor berbagi rasa yang dibumbui semangat dan ego nasionalisme berperan besar dalam membuat diri nyaman dan feeling good. Kompetisi yang ditonton membuat mereka sedikit melupakan untuk introspeksi, apalagi rasa putus asa. Sebaliknya, mereka akan cenderung bertoleransi dan mampu menanggulangi krisis.
Jadi biarlah ketika Inggris dilumat Italia melalui drama adu penalti kemarin dinihari harus ada yang menangis sesenggukan. Semakin mereka terharu, menandakan sepak bola masih ada di hati mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar